Pages

Bintang(Jalan yang Tiada Berujung I)

Sayap camar terdengar mengepak-ngepak pagi ini. Sisa hujan kemarin malam terendus segar di batang hidungku yang agak masuk ke dalam, alias agak pesek(Padahal kenyataannya memang pesek). Aku terhenyak dari mimpiku. Mimpi yang mengerikan itu datang lagi menghampiri. Tapi, entahlah, aku tak pernah ambil pusing walau terkadang ketakutan itu terus saja membubuhi sepanjang hari di sekolahan.
                   14 April 2012, saat dimana kemarau terasa agak panas. Aku benci dengan kemarau.  Panasnya kemarau itu membakar kulit.  Jaket biru ini selalu ku bawa-bawa walau kadang hanya ku dekap dan digumal-gumalkan. Mulutku nyengir miring mentap langit biru yang tak menggantungkan awan sedikitpun.
                   Pandanganku tiba-tiba jatuh pada seorang abang beradik. Tawa riang mereka sangat tulus. Membuat hatiku teriris. Si adik duduk di pundak abangnya, sambil melebarkan kedua tanganya seolah-olah terbang. Sedangkan abangnya tertawa dan berlari-lari kecil memegang adiknya. Keluarga yang harmonis. Keluarga yang apik. Hatiku dongkol. Terasa panas.
                   Entah kenapa rasanya, ada satu titik kelam yang tak bisa ku tutup hingga saat ini. Penyesalan dan kesedihan yang tak pernah aku inginkan lagi. Kisah itu pernah terjadi sebelumnya dalam hidupku. Tapi, setiap ku ingat kisah itu, justru itu membuat hati ini terasa terluka dan sakit. Bahkan kadang, aku terlarut dalam khayalan dan memori kala itu.
                   Hati ini terasa sempit, pelik dan kacau.
                   “Andai aku bisa meraihmu...”
                   “Andai aku tak sekejam itu padamu...”
                   “Andai kita punya waktu lebih banyak..”
                   “Andai aku bisa banggain dirimu....”
                   Air mataku mulai mengucur deras. Membasahi sela-sela pipiku yang putih kemerahan. Mataku terasa perih dan ingin ku kucek-kucek. Hidungku malah kembang kembut hanya karena mengingatnya. Orang spesial yang pernah hadir dalam hidupku. Andai aku bisa menggapainya. Kini, semua terasa jauh. Kini semua terasa jaraknya sejauh langit dan bumi. Tak mungkin ku gapai.
                   Aku lelaki dan aku tahu itu. Bukan begini caranya lelaki menghadapi masalah. Tapi lelaki juga manusia yang kadang perlu bersedih. Mengeluh dan menggumam pada angin yang menyapa bahkan kala pagi datang.
            Sudahlah, cepat-cepat ku bungkam rasa sedih ini dan bergegas melangkah ke gerbang sekolah. Walau hati ini terasa tak mengizinkan, tapi aku harus tetap tegar. Tegar menghadapi masalah dan kesedihan. Toh, mentari juga akan terbit dan tenggelam. Sekalipun ia tak ada, semua akan tetap sama, hanya saja satu yang hilang. Hanya satu saja yang hilang dan itu tak perlu dirisaukan, gumamku menghibur diri.


To be Cotinued......

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar